Ini adalah sebuah cerita dari masa putih-biru yang kukenang hingga sekarang. Hanya beberapa detik. Ingatanku sudah samar-samar, tetapi pelajaran berharga dari momen itu mengakar pada diriku.
Sekitar seminggu yang lalu sebelum hari itu, aku dan teman-teman kelasku mendapat ulangan harian salah satu mata pelajaran. Aku cukup percaya diri dengan jawabanku dan punya ekspektasi nilai yang tinggi.
Tibalah hari di mana hasil ulangan harian kami dibagikan. Satu per satu temanku menerima kertas ulangan. Beragam ekspresi seperti biasanya ditunjukkan mereka. Kaget karena tidak menyangka mendapat nilai tinggi, biasa saja karena sudah biasa mendapat nilai sekian, hingga sedih dan kecewa karena nilainya rendah.
Hari itu, benar-benar berbeda. Aku merasa seperti orang terbodoh. Bukan karena nilaiku terendah di kelas. Aku pun bukan termasuk peraih nilai tertinggi di kelas. Nilai yang kudapatkan termasuk lumayan, tapi benar-benar di luar ekspektasiku. Meski hanya meleset sekitar sepuluh poin dari targetku, rasanya sangat kecewa. Bahkan gelisah saat melihat pesaing kelasku mendapatkan nilai yang lebih tinggi dariku. Aku merasa tidak bisa menerima hasil tersebut.
Salah seorang temanku merasa resah karena aku terus mengatakan bahwa nilaiku hanya segitu dan terus membandingkan nilaiku dengan nilai pesaing kelas. Kesal, dia akhirnya menegurku dengan keras. “Yaelah, nilai segitu aja berisik banget! Dapat nilai segitu aja sudah bersyukur,” begitu kira-kira kata-katanya. Aku terdiam.
Begitu dia menyelesaikan ucapannya, aku langsung merasa tertampar.
Padahal, ada banyak temanku yang nilainya jauh di bawah nilaiku. Namun, mereka tidak gelisah berlebihan. Mereka pun tidak mengeluh terus menerus seperti yang aku lakukan.
Detik-detik itu benar-benar mengubah pandanganku tentang nilai bahwa nilai bukan segalanya. Berapapun nilai yang didapatkan sama sekali bukan masalah besar.
Grades don't measure intelligence. Source: Flickr
Seringkali aku menemukan ada yang mengatakan, “Wah, baru kali ini nilaiku 80-an! Gila, gak disangka banget!” Bahkan ada juga yang sudah bersyukur saat mendapatkan nilai sebesar batas kelulusan ulangan harian.
Momen sederhana ini berdampak besar pada hidupku.
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mengeluhkan nilaiku bila rendah. Setiap aku mendapatkan nilai di bawah ekspektasi, aku selalu teringat pada ucapannya. Bukan berkeluh, melainkan bersyukur.
Bonsai. Source: Unsplash
Terkadang, manusia memang suka lupa melihat sekelilingnya bahwa ada yang lebih kurang beruntung darinya. Manusia suka membandingkan dirinya dengan yang lebih beruntung darinya hingga akhirnya mengeluh dan merasa tidak adil.
Bersyukur atas segala sesuatu yang kita dapatkan jauh lebih berharga. Justru, dengan bersyukur, kita sebenarnya sudah lebih beruntung dibandingkan selalu mengeluh. Dengan bersyukur pula, hati kita jauh lebih tenang daripada hanya memikirkan betapa tidak beruntungnya diri kita.
Pada intinya, kita perlu menanam bibit ‘bersyukur’. Menyiram dan merawat sampai bibitnya bertunas dan berkecambah. Pada akhirnya, ketika sudah tumbuh tegak nan kokoh menjadi pohon yang rindang, bibit itulah yang akan menjadi penyejuk hati kita kala dihadapkan dengan ketidakpuasan di kemudian hari. Ia juga yang akan membantu kita merasa lebih hidup.
Usaha dan target memang sangat diperlukan. Tetapi ketika hasil tidak sesuai dengan ekspektasi, petik pelajaran berharganya. Kecewa, sah-sah saja. Tetap harus ingat, segala sesuatu yang terjadi mempunyai maknanya. Maka, kegagalan memenuhi ekspektasi yang kita dapatkan pasti mempunyai pelajaran untuk diri kita.